HIDUP SEDERHANA

16/10/08

Setelah menonton film "Laskar Pelangi", ada yang bergejolak di hati saya. Sepertinya film itu mewakili banyak hal yang ada di hati dan fikiran saya. Ada nostalgia masa lalu, ada penderitaan, ada perjuangan, ada romantisme cinta monyet, ada kepolosan, ada kejujuran, ada kemiskinan, ada ketimpangan ekonomi, ada kecerdasan, ada kebanggaan, dan ada pelajaran hidup yang tak ternilai harganya. Pelajaran untuk lebih banyak memberi daripada menerima, keiklasan untuk mengabdikan diri, dan pelajaran untuk pantang menyerah.........

Seluruh emosi saya tumplek blek disitu, mungkin ada 5 kali dada saya sesak menahan tangis, dan di adegan tertentu tak tertahankan lagi, wajar karena memang sangat menguras emosi saya sebagai anak kampung yang juga dibesarkan di lingkungan kemiskinan. Bedanya, saya adalah orang yang beruntung, orang tua diberi berkat lebih baik, sehingga saya bisa sekolah lebih tinggi dan sekarang bisa disini, mengetik tulisan ini didepan komputer, beruntung bukan ?

Saya jadi teringat, "gank" saya saat kecil dulu di sekolah dasar, ada Gito "krempeng", Agus "kiwil", Iin, Slamet, Untung, Ratno, ..... yang masih bisa dihubungi hanya satu, Gito, sudah punya anak dan tinggal satu kota tetapi agak jauh dari rumah saya. Kelompok bermain ini memang bukan laskar pelangi seperti di film itu, sekolah kami lebih baik, bahkan salah satu sekolah dasar negri favorite di kota kecamatan. Tetapi seperti halnya kehidupan orang di daerah pedesaan di tahun 80-an, kesederhanaan dan hidup jauh dari peradaban kota. Beberapa dari teman ini tidak tidur siang seperti saya setelah pulang sekolah, mereka bekerja berjualan kacang bawang yang dibungus plastik kecil-kecil di pangkalan bus. Kadang kalau saya sedang malas tidur siang, ikut mereka ke pangkalan bus, melihat mereka bekerja dan bercanda. Saya juga pernah ikut teman menggembalakan kambing atau bebek ke areal persawahan. Mereka tahu saya anak orang mampu, tapi mereka juga tahu saya lebih senang bermain dengan mereka daripada bermain dengan anak orang mampu lainya. Mungkin hanya saya yang bisa meraih gelar sarjana, setahu saya mereka hanya sekolah sampai sekolah menengah saja.

Hati saya memang tidak bisa lepas dengan kehidupan orang sederhana, fikiran saya sederhana, selera saya sederhana, hidup sederhana, akan tetapi heran, mengapa saya diijinkan TUHAN untuk mengalami banyak sekali hal yang tidak sederhana. Sekolah SMA di kota besar, kuliah di kampus favorite, lalu bekerja pertama kali di perusahaan papan atas di Indonesia, pekerjaan yang tidak sederhana, lingkungan yang mewah, teman-teman yang bonafide, bisa naik pesawat, keliling Indonesia. Ketidaksederhanaan itu berlanjut sampai bekerja di tempat kedua, lebih parah lagi, meskipun bukan perusahaan papan atas, tetapi pekerjaan saya menuntut suatu integrasi pemikiran dan latar belakang yang tidak sederhana. Disitu saya melayani atasan dan juga pelanggan yang punya selera dan gaya hidup yang tidak sederhana, bahkan cenderung hura-hura, tetapi bisa keluar negri. Sekarang lebih baik, bekerja di perusahaan yang masih berkembang, dengan atasan yang punya latarbelakang perjuangan dari kecil, melayani pelanggan yang tidak terlalu high style akan tetapi tetap punya selera dalam gaya hidup.

Satu hal yang masih belum terwujud, apa yang sudah saya lakukan untuk orang-orang sederhana ? sepertinya masa lalu hanya masa lalu, dan saya malah lebih banyak sibuk dengan diri sendiri dan keluarga. Masih lebih baik, karena keluarga saya utamakan, tetapi apa sampai disitu saja ?, sampai kapan saya merasa cukup dengan mengurus keluarga ? bagaimana dengan nasib orang-orang yang tidak beruntung ?

Saya membayangkan, hidup saya akan berakhir sederhana, meskipun saat ini belum sampai di titik tertinggi dibanding orang-orang yang dilimpahi berkat kekayaan. Sepertinya memang harus mengalir seperti itu, beberapa tahun kedepan saya harus mempersiapkan diri dengan kekuatan iman yang lebih tebal, karena akan ada banyak berkat melimpah, entah dari mana. Lalu dari berkat-berkat itu, saya harus melakukan hal yang berguna untuk dunia, lalu berkat itu tidak pernah putus, hingga akhirnya saya serahkan ke orang lain untuk mengelolanya. Saya mau kembali sederhana, kembali ke masa lalu, menjadi anak desa yang sederhana, berfikir sederhana, hidup sederhana, pasrah dan tabah menunggu sang khalik memanggil ......... dalam kesederhanaan....


Secangkir kopi kusruput sendiri ..... sruput.... mak nyozzzzzzzzzzzzzzz..............................



LAKONE

Comments