"BELAJAR DARI PAK HARTO (2)"

25/8/2008

Headline KOMPAS hari ini "Ledakan Jumlah Penduduk Mencemaskan", perkiraan jumlah penduduk tahun 2015 sekitar 247.5 Juta dari 220 Juta tahun ini (naik 12.5%) dan kemungkinan akan menjadi 273 Juta tahun 2025 (naik 24%) dari tahun ini. Indonesia sedang mengalami apa yang disebut Babby Booming, kenapa ? katanya karena otonomi daerah makanya program Keluarga Berencana (KB) terabaikan. Budget Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk kampanye KB terbagi-bagi sesuai dengan kemampuan daerah, dan ironisnya banyak daerah yang tidak fokus untuk persoalan menekan jumlah penduduk.
Belajar dari Soeharto, orang yang punya kemapuan untuk mengakomodir ilmu nya orang untuk mengambil keputusan, adalah langkah tepat untuk mengendalikan jumlah penduduk. Dulu mestinya tidak sampai dibahas di koran sebelum diputuskan, para ahli statistik dikumpulkan dan diminta memnbuat proposal mengenai prioritas pembangunan. Mungkin saat itu hal yang mengusik dia adalah mengenai pertumbuhan jumlah penduduk yang akan berdampak pada pengurasan anggaran negara untuk mengurus banyaknya manusia di negri ini. Selain itu, banyaknya jumlah penduduk hanya akan menyebabkan berbagai kerawanan, rawan buruknya kualitas SDM, rawan pengangguran, rawan kemiskinan, rawan kriminalitas, rawan kerusuhan dan lain-lain.
Cerdas, Soeharto berani bertindak menyisihkan anggaran untuk urusan yang belum tentu didukung orang. Pertama, saat itu negara sedang sibuk membangun infrastruktur pembangunan, kok ribut berkampanye menurunkan jumlah penduduk. Kedua, memaksa orang punya anak dua jelas menentang tradisi orang jawa "banyak anak, banyak rejeki" padahal dia sendiri orang jawa. Ketiga, memaksa orang menggunakan kontrasepsi, jelas dianggap menurunkan kualitas kenikmatan hubungan seksual.
Visi, Soeharto menatap kedepan, bukan kebelakang, saya membayangkan menjadi Soeharto saat keputusan ini diambil, tentulah sudah dipikirkan resiko-resikonya, termasuk resiko melawan tradisi kejawaanya yang dinilai para ahli statistik bisa menghambat pertumbuhan. Hati nurani bergejolak, bagaimana masalah prinsip ini bisa diatasi, sementara dalam pemikiranya bangsa ini mesti lebih baik dari hari ini.
Misi, Soeharto bertindak, dihitung dan ditimbang, hasilnya tentu sudah bisa diperkirakan waktunya. Maka dari itu dia berani memutuskan langkah-langkah jangka pendeknya. Membentuk BKKBN, bukan menyerahkan urusan ini pada mentri kependudukan saja. Adalah urusan ribet, ada dana yang harus dikucurkan, ada lembaga yang harus dibentuk, ada program-program dan lain sebagainya. Ini bikin kerjaan semua orang, dan jelas tidak semua orang happy untuk yang satu ini. Bayangkan, untuk mendukung program ini, semua pegawai negri dan tentara harus menjadi role model (contoh), dengan memangkas anggaran santunan untuk anak ketiga dan seterusnya.
Saya tidak membahas, bahwa pada akhirnya banyak juga orang yang memanfaatkan proyek proyek Soehato ini untuk mengeruk duit negara (KORUPSI), tetapi saya melihat niat baiknya. Ada kecerdasan mengakomodir ide, ada visi melihat kedepan, dan ada program jangka pendek, itu yang penting. Tidak semua orang mau melakukan ini meskipun bisa. Ada sisi yang tidak bisa dipelajari, tetapi memang bakat alami seorang pemimpin. Ada kemampuan mentalitas yang tidak ada dalam buku teori manapun, sehingga tanpa harus kuliah sampai doktoral, seorang Soeharto bisa bercokol 35 tahun menjadi presiden.
Kembali ke jumlah penduduk, bagaimana soal ini sekarang ? apa sebenarnya yang difikirkan oleh para pemimpin negri ini ? apa priorotasnya, dan apa dampaknya untuk masa depan ? kita bisa belajar dari situasi ini untuk diterapkan di organisasi sebagai berikut :
1. Jadilah cerdas dengan tidak mengandalkan diri sendiri, tetapi lebih banyak mendengar, mebuka hati dan fikiran atas ide orang lain
2. Menatap kedepan, penuh keyakinan melangkah untuk mencapainya, ambil resiko, termasuk melawan tradisi dan prinsip pribadi atau kelompok yang menghambat.
3. Ambil tindakan, tetapkan langkah jangka pendek, hitung dengan matang hasilnya yang akan diperoleh.
Dengan demikian prioritas sudah otomatis terbentuk, dan dengan otoritas yang dimiliki bisa membawa semua orang mengikutinya. Jika ingin lebih cepat menerapkan pelajaran ini memang ada pra kondisi yang harus dipenuhi : Kita sebagai Leader dan Kita punya Otoritas (wewenang) untuk menggerakan orang lain. Jika pra kondisi ini belum terpenuhi bukan berarti tidak bisa jalan, hanya masalah waktu saja yang agak melambat. Organisasi apa yang bisa kita pakai untuk menerapkan pelajaran ini ? tidak harus negara, bisa juga partai, perusahaan, atau yang paling mudah adalah keluarga. Berani mencoba ?

Secangkir kopi kurusput sendiri, mak Nyozzzzzzzzzzzzz............................

Comments